Guna meningkatkan kompetensi guru dan kepala sekolah ini maka pendidikan dan pelatihan bagi guru ini menjadi wajib ketika akan menjadi kepala sekolah. 6 Tahun 2018 juga mensyaratkan sehat jasmani, rohani dan bebas napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya) tidak pernah dikenai hukuman disiplin tidak sedang menjadi tersangka atau tidak pernah menjadi terpidana berusia maksimal 56 tahun pada waktu pengangkatan pertama sebagai kepala sekolah. Persyaratan administrasi tersebut seperti memenuhi persyaratan akademik minimal sarjana (S-1) atau Diploma IV (D-IV) dari program studi yang terakreditasi paling rendah B memiliki sertifikat pendidik memiliki hasil prestasi penilaian kerja guru minimal “Baik” selama 2 tahun terakhir memiliki pengalaman mengajar paling singkat 6 tahun, bagi calon kepala sekolah TK minimal 3 tahun memiliki pengalaman manajerial yang relevan. Dalam rangka memberikan panduan standarisasi kompetensi kepala sekolah, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menerbitkan Peraturan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomer 6 Tahun 2018 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah. Oleh karena itu upaya peningkatan kompetensi kepala sekolah terus menerus dilakukan, di antaranya dengan menetapkan standarisasi kompetensi kepala sekolah. Menjadi kepala sekolah memerlukan sejumlah kompetensi yang harus dipenuhinya. Menjadi kepala sekolah berarti harus memiliki kemampuan memimpin dan mengelola sekolah untuk terus berikhtiar meningkatkan kualitasnya. Menjadi kepala sekolah berarti menjadi pemimpin sekaligus sebagai pendidik. Kepala sekolah yang memiliki peran sebagai leader, manajer, supervisor dan edocator dituntut memiliki kompetensi yang akan memimpin dan mempengaruhi para pendidik dan tenaga kependidikan mengoptimalkan kemampuannya untuk memberikan yang terbaik dalam aktifitasnya di sekolah.
Namun pendidikan merupakan proses integral untuk menumbuhkan kesadaran ilahiyah (keimanan dan ketaqwaan), akhlakul karimah, cerdas dan tentu saja terampil.ĭalam konteks pendidikan formal, proses pendidikan integral sebagaimana dimaksud menempatkan posisi kepala sekolah sebagai posisi sentral dalam mengelola (memanajemen) seluruh sumber daya yang dimiliki sekolah agar terarah pada pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Demikian halnya tidak cukup jika pendidikan hanya terkonsentrasi pada ketrampilan motorik. Tidak cukup jika pendidikan hanya fokus pada optimalisasi potensi intelegen (akal).
Konsekuensi logis dari cara pandang seperti ini mengharuskan bahwa keseluruhan proses pendidikan berlangsung untuk mengoptimalkan potensi manusia secara integral agar sesuai dengan fithrahnya. Trilogi pendidikan ini harus saling bersinergi dalam mewujudkan manusia beriman, bertaqwa, cerdas, terampil dan berkahlakul karimah. Proses pendidikan dimaksud tentu tidak terbatas pada proses pendidikan formal, namun juga pendidikan yang terjadi di dalam keluarga dan masyarakat. Maka ketika hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia, artinya menjadi manusia sejati (terutama dalam perspektif Islam) sebagai abdulloh (hamba Alloh) dan khalifah (sebagian ulama menerjemahkan wakil/pemimpin) di muka bumi berproses melalui pendidikan. GENEOLOGI pendidikan menempatkan aspek moral (akhlak) pada posisi sentral. Nuridin, Ira Alia Maerani, Muhammad Muchtar Arifin Sholeh, Khairul Anwar